Fenomena alam berupa kekeringan, banjir, tanah longsor serta konflik satwa yang semakin sering terjadi terindikasi akibat kerusakan hutan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgq6brezvhdI9__c-lFzsKEPALFkwj23ZaH5QNk4Fr7SvHVSx6sz7V7NFLX-usHgZ9p8gsQ8Ry5KQrUPilKeFGX9oQeqj50iBqukT2ZL0CGl6xtcnlVPZuoKXTXM5YsmFoL14aa5I96Zvs/s400/IMG_0207.jpg)
Aceh, terletak di ujung utara Pulau Sumatera , Indonesia , merupakan sebuah harta terpendam penuh dengan kekayaan alam yang sedang menuju kehancuran dengan cepatnya. Hutan hujan di Aceh dirusak demi mengeruk keuntungan dalam sekejab. Atas nama “ Pembangunan “ hutan Aceh di babat untuk dijadikan perkebunan besar dan jalan raya. Aceh juga merupakan kawasan konflik bersenjata yang pahit dan berlaru-larut. Masyarakat sipil ( terutama disekitar kawasan hutan ) terpaksa menanggung beban terberat dari kekerasan. Penebangan dan kehancuran sumber kehidupan masyarakat yang ditimbulkannya hanya menambah penderitaan rakyat Aceh.
Di Aceh, dampak sosial dan lingkungan dari kehancuran sumber daya alam berarti bertambahnya tekanan terhadap rakyat yang telah sekian lama menderita akibat konflik. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan lemahnya kinerja pemerintah daerah didalam memanfaatkan kekuatan dan potensi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan, yang sesungguhnya merupakan pihak yang paling merasakan akibat buruk dari pembalakan liar (illegal logging) dan kegiatan eksplorasi alam yang tidak bertanggung jawab serta cenderung menjadi “eksploitasi” yang mengabaikan prinsip-prinsip kemanusian dan kesimbangan alam sehingga melahirkan bencana yang merusak berbagai tatanan kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan.
Moratorium Logging
Perjanjian damai antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan momentum yang sangat berharga bagi Pemerintah dan Rakyat Aceh, untuk dapat melakukan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara Otonom. Kesempatan ini tentu saja harus dimanfaatkan secara bijaksana sehingga Sumber Daya Alam Aceh dapat dikelola secara adil dan lestari.
Untuk menyusun kembali Strategi Pengelolaan Hutan Aceh, diperlukan kebijakan Moratorium Logging. Dalam pelaksanaannya dilapangan, kebijakan ini harus mendapat dukungan dan kontribusi nyata dari seluruh elemen pemerintahan, organisasi non pemerintah dan semua komponen masyarakat. Dan juga, melakukan pengawasan yang terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik, serta di ikuti oleh penegakan hukum yang adil dan beradab serta bermartabat terhadap siapapun yang melakukan aktifitas pembalakan liar, sehingga dapat memperkecil angka kehancuran hutan Aceh.
Peranan Masyarakat
Pemerintah dan Rakyat Aceh memiliki kepentingan untuk melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan di daerah ini sebagai insfrastruktur ekologi, yang menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk keperluan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keanekaragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu.
Lengsernya Presiden Soeharto, dan runtuhnya Era Orde Baru pada tahun 1998 diikuti oleh masa keoptimisan dan reformasi, semakin terbukanya ruang politik bagi masyarakat sipil untuk menuntut demokrasi, berakhirnya sebuah kekuasaan otoritarian dan perubahan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Pada tahun 1999, telah terbentuk gerakan masyarakat adat di tingkat nasional, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( AMAN ). Tuntutan mereka antara lain adalah pengakuan hak-hak masyarakat adat dan pengembalian sumber daya alam milik adat kepada masyarakat adat. Capaian penting yang diraih dari lahirnya gerakan ini adalah dalam hal hak-hak masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya alam. Amandemen Undang-Undang Dasar yang disahkan tahun 2000 adalah pengakuan dan penghormatan terhadap “masyarakat hukum adat”. Pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, mengesahkan sebuah keputusan yang membuka jalan untuk mereformasi semua undang-undang sektoral agar sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam, termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap ”masyarakat hukum adat”. Tetapi, capaian-capaian tersebut belum diterapkan di hutan-hutan Kalimantan, Papua, atau dimanapun termasuk di Aceh.
Aksi Komunitas
Didalam perjalanannya, proses penyelamatan dan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat dan ‘masyarakat hukum adat’ sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap kelestariannya.
Kebutuhan akan aksi nyata dari berbagai elemen masyarakat sudah sangat mendesak untuk menyelamatkan kehidupan dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang : untuk mencegah jatuhnya korban akibat banjir, kemiskinan dan untuk melestarikan sumber daya alam yang akan melangsungkan kehidupan generasi-generasi Aceh dimasa yang akan datang.
Untuk itu, berbagai elemen masyarakat harus terlebih dahulu memperkuat dan mempertajam pengetahuan serta kepekaannya dengan melakukan berbagai kegiatan penguatan kapasitas, baik segi ekonomi, sosial, hukum, pendidikan, politik maupun budaya, sehingga didalam pelaksanaannya dilapangan setiap gerakan atau aksi tersebut dapat berdaya guna serta memberikan manfaat langsung ke masyarakat.
Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ) memiliki peranan penting didalam menjaga dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, sebagai pihak yang bekerja secara tidak memihak ( independen ), LSM dapat memanfaatkan berbagai ruang gerak untuk memberikan masukan dan tekanan kepada pemerintah melalui pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas (perwakilan rakyat) didalam menjaga dan mengelola sumber daya alam sebagai bentuk partisipatif dan kekuatan penyeimbang serta pemilik posisi tawar terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah didalam pengelolaan sumber daya alam demi terciptanya kemakmuran dan keadilan yang adil dan beradab kepada segenap masyarakat Aceh.
Disadari atau tidak, menjaga dan mengelola sumber daya alam Aceh tidak hanya dilakukan dengan berbagai diskusi ilmiah dan teriakan lantang saja, tetapi harus di lakukan secara sistematis dan penuh tanggung jawab yang di sertai dengan tindakan nyata oleh pemerintah dan rakyat Aceh sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap kelestarian hutan aceh, baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Insya Allah…
Darussalam, 27 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
" Menulis dengan kata secara tepat,dinamis dan bersahabat menuju interaksi yang terintegrasi secara efektif ! "